Apakah hal ini hanya dilakukan oleh orang yeng belum percaya? atau Adakah Orang Kristen yang mengaku percaya kepada Kristus melakukan hal ini?
simak penjelasannya berikut ini:
Karena sifat alaminya yang telah dikuasai
dosa, dan disebabkan oleh belum terjadi pemulihan gambar diri serta perubahan pikiran
atau akal budi oleh kuasa Tuhan dan firman-Nya, maka manusia tidak lebih
daripada orang-orang berdosa yang cenderung melakukan hal-hal yang tidak
berkenan kepada Tuhan, suka mementingkan diri sendiri dan selalu memandang
dirinya lebih baik dibanding orang lain. Mereka sering merasa sebagai orang
yang tidak berdosa (walaupun mereka tahu sedang berbuat dosa), merasa tidak
bersalah dengan apa yang dilakukannya dan ketika mereka mulai menyadari bahwa sebenarnya
mereka keliru, maka mulailah mereka mencari-cari kesalahan orang lain untuk
menutupi kesalahan dan kekeliruannya.
Ingat kisah masa kecil kita saat ketahuan
bersalah di hadapan orangtua?
Biasanya kita akan menunjuk orang lain untuk
menutupi kesalahan kita. Entah itu adik atau kakak kita, intinya kita tidak mau
disalahkan.
Kisah tersebut rupanya tidak berhenti di situ.
Ketika dewasa, kita juga masih cenderung melakukan hal yang sama. Walau tidak
serta merta menunjuk orang lain, namun kita memiliki tendensi untuk tidak mengakui kesalahan kita
sendiri. Ya, kan?
Kejadian saling menyalahkan dan sulit mengakui
kesalahanan mungkin bisa kita alami di mana pun. Baik di rumah, di tempat
kerja, bahkan dalam pergaulan.
Mengapa demikian ? ini semua karena dosa
manusia yang diwarisi dari Adam dan Hawa (Natur dosa).
Dalam kitab Kejadian pasal 3, ketika Allah
bertanya kepada Adam tentang apa yang sudah dilakukannya, Adam menuduh Hawa
yang bersalah atas peristiwa pelanggaran perintah Tuhan yang melarang makan
pohon pengetahuan baik dan jahat. Tidak mengejutkan ketika Hawa pun ikut
mempersalahkan ular sebagai yang bertanggung jawab atas pelanggarannya.
Inilah gambaran manusia saat ini yang sudah
jatuh kedalam dosa atau mewarisi dosa Adam dan Hawa. Mereka suka membenarkan
diri dan mudah menyalahkan orang lain.
Dalam hidupnya, mereka tidak mau dihakimi oleh
Tuhan atau sesamanya tetapi justru menempatkan dirinya sebagai hakim atas
segala sesuatu. Atas dirinya, atas orang lain. Bahkan terhadap Tuhan!
Pernahkah Anda melihat orang yang merasa
dirinya benar dan semua orang lain yang salah? Pasti pernah kan? Atau jangan-jangan kita sendiri orangnya………….
Orang-orang seperti ini, selalu memandang
dirinya bersih, selalu benar, lebih baik, lebih rohani dan selalu merasa disayang
dan dibela Tuhan. Benarkah demikian ? (itu perasaan mereka saja)
Kita melihat contoh dalam Perumpamaan Tuhan
Yesus tentang Orang Farisi yang berdoa bersama dengan seorang pemungut cukai. Dalam
perumpamaan ini, Yesus menggambarkan secara sempurna tentang pola pikir orang
yang suka membenarkan dirinya sendiri:
“Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam
hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama
seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan
bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku
memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku” (Lukas 18:11-12)
Orang Farisi itu sedang berdoa. Dan dari luar
ia tampak seperti orang yang sangat rohani dan menghormati Tuhan. Isi doanya
pun ada ucapan syukur. Tetapi bukannya menyembah dan meninggikan Tuhan, mengaku
dosa, dia malah memuji dan membanggakan dirinya sendiri. Merasa dirinya sebagai
pribadi yang sudah baik, bahkan sangat baik. Ia merasa tidak sama dengan orang
berdosa. Ia merasa suci.
Tetapi pada sisi lain, ia memandang rendah semua orang lain bahkan menganggap mereka sebagai orang berdosa
Tetapi pada sisi lain, ia memandang rendah semua orang lain bahkan menganggap mereka sebagai orang berdosa
Apakah Tuhan memberikan Pujian kepada orang
Farisi tersebut? Tidak, karena Tuhan tidak senang dengan orang yang sombong
Rohani.
Perumpamaan ini memberikan gambaran kehidupan
orang percaya saat ini, yakni mereka yang datang kepada Tuhan dalam ibadah dan
berkata dalam hatinya, seperti ini:
“Aku sudah datang ke gereja. Aku sudah melakukan
tugas pelayanan hari Minggu ini. Aku sudah memberikan persembahan yang besar.
Puji-pujian dan doa sudah kupanjatkan dengan sekuat tenaga dihadapan Tuhan.
Pastilah Tuhan senang dan berkenan kepadaku”
Saya yakin sekali kalau kita datang beribadah
seperti itu, dengan motivasi yang tidak benar, maka ibadah kita sia-sia dan
tidak berarti sama sekali dihadapan Tuhan. Kita tidak lebih dari orang-orang
yang angkuh dan sok pamer di hadapan Tuhan. Dan tidak mengerti ibadah yang
sejati dihadapan Tuhan
Bukankah Tuhan mencari persembahan hidup daripada persembahan ritual yang sekedar formalitas yang hanya tampak benar secara liturgi dan prosedur semata ?
Bukankah Tuhan mencari persembahan hidup daripada persembahan ritual yang sekedar formalitas yang hanya tampak benar secara liturgi dan prosedur semata ?
Bagaimana mungkin seorang yang mengaku beribadah
dan menyembah Tuhan tapi justru menyombongkan diri sendiri dan selau merasa
benar, mempersalahkan orang lain dan tidak mau intropeksi diri?
Saya jadi kembali bertanya-tanya dalam hati, Akankah
Tuhan menerima ibadah dan penyembahan dengan hati yang demikian?
Saudaraku!
Orang yang hebat bukanlah mereka yang bisa dan
biasa melihat kesalahan orang lain, tapi mereka yang bisa melihat kesalahannya
sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Oleh karena itu, jangan membiasakan
diri dengan terus menerus melihat kesalahan orang lain, tetapi menjadi
pandailah dengan menyadari kesalahan diri sendiri dengan terus melakukan
introspeksi diri pada saat kita seorang diri.
Mencari-cari kesalahan untuk menutupi dan
menyembunyikan dosa dan tidak akan membuat kita jadi lebih baik, tetapi justru menjadikan
kita semakin jatuh lebih dalam lagi dalam dosa. Ketahuilah bahwa dosa yang
disimpan atau di sembunyikan dari orang lain adalah sama bersalahnya dengan
melakukan dosa itu sendiri. Janganlah kita berpikir bahwa dosa yang tersembunyi
adalah dosa yang tidak serius daripada dosa yang terlihat.
Ada sebuah cerita yang katanya benar pernah
terjadi di Amerika. Ada seorang ibu yang mempunyai kolam yang dekat danau
yang biasa ia pakai untuk memelihara ikan. Suatu hari ia menemukan seekor anak
buaya alligator. Bertahun-tahun ia memelihara buaya ini walaupun tetangga dan
banyak orang menasihatinya agar tidak membesar buaya ini. Tapi ia menolak
karena buaya alligator ini jinak dan nurut sekali jika ia panggil. Tetapi, pada
suatu hari buaya ini menyerang dia.
Dia kaget luar biasa.
Untuk keamanan
dirinya dan lingkungan sekitarnya pihak polisi setempat menembak mati buaya
itu.
Mengapa buaya ini menyerang ibu tersebut?
Ternyata buaya alligator
mempunyai sifat ia akan menyerang orang yang sudah dikenalnya. Buaya ini
menyerang ketika ia mulai tidak merasa takut dengan manusia. Dengan membiarkan
alligator itu tinggal di kolam secara tidak sadar ia memberi kesempatan pada
buaya itu untuk menyerangnya.
Dosa juga seperti itu. Sangat berbahaya jika
dibiarkan terus ada dalam diri kita. Dosa itu akan segera menjadi malapetaka
bagi diri kita.
Itulah sebabnya kita tidak boleh menyimpan
dosa dalam hati kita. Dosa dapat juga diibaratkan seperti api dalam sekam.
Lebih baik dipadamkan sebelum menjadi api yang besar yang akan membakar dan
menghancurkan kehidupan kita.
Hanyalah orang bodoh yang berpikir bahwa dia
dapat mengurangi dosa dengan menyembunyikannya. Dan lebih bodoh lagi jika kita
mengatakan pada diri kita bahwa kita lebih baik dari yang lain karena kita
berdosa dan hanya kita yang tahu, dibandingkan dosa orang lain yang diketahui
oleh semua orang. Dan yang paling bodoh sekali adalah jika kita meyakinkan diri
bahwa kita dapat lari dari dosa dengan menyembunyikannya dari hadapan orang.
“Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung” (Amsal 28:13)
Semua dosa sama dihadapan Allah, baik
dilakukan di muka umum atau diam-diam. Dan Allah dapat melihat dosa kita dengan
jelas, tidak peduli seberapa pintar kita menutupinya.
Orang Farisi adalah orang-orang yang suka
pamer, selalu ingin dihargai dan dihormati, suka sekali mencari kesalahan orang
lain, tetapi mereka sendiri tidak pernah mengakui dan menyadari kesalahan,
kelemahan dan dosa-dosa mereka. Oleh karena itu Tuhan sangat mengecam perbuatan
mereka (Matius 23:1-26).
Mereka yang selalu suka mencari kelemahan dan
kesalahan orang lain merupakan gambaran dari isi dan perasaan hati seseorang yang sebenarnya diselubungi
oleh sifat dengki dan kebencian. Sifat dan sikap seperti ini pada dasarnya
untuk menutupi kekurangan diri sendiri. Biasanya karena takut dipermalukan, disisikan, disaingi atau takut dikalahkan orang lain. Orang seperti ini biasanya akan berusaha sedapat mungkin menutupi perilakunya yang buruk tersebut
dengan menjadi, pura-pura beribadah, pura-pura rohani, melibatkan dan mengaktifkan diri dalam
pelayanan supaya kelihatan orang rohani. Semuanya dilakukan dengan penuh
kepura-puraan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh (sungguh-sungguh dalam
berpura-pura)
Sebelum kita mencari-cari kesalahan orang lain
yang memang pasti ada. Sebaiknya kita menyadari dan bertanya kepada diri
sendiri, apakah saya juga tidak memiliki kekurangan,
kesalahan atau dosa-dosa? Jangan-jangan kesalahan, kelemahan dan dosa
kita jauh lebih besar dari orang lain! Apalagi kalau memang kita tahu/ sadar
bahwa kita bersalah dan sedang menutupi suatu kesalahan, pelanggaran, aib dan
atau dosa yang sangat memalukan. Ibarat telunjuk kita, jika menunjuk ke arah orang
lain, maka pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa masih ada jari-jari
yang lain menunjuk ke arah diri kita
Selain mencari-cari kesalahan, Orang Farisi
juga selalu menganggap dirinya lebih baik, paling benar, pamer kesucian dan selalu merasa lebih istimewa
dibandingkan yang lain. Mereka merasa tidak pernah salah. Mereka selalu
meremehkan orang lain. Mereka menganggap bahwa kerohanian orang lain tidak
berarti apa-apa dibandingkan dengan mereka.
Memang mengejar kebenaran, kesucian atau menjadi
orang benar harus dilakukan oleh setiap orang. Bahkan hal tersebut justru
dianjurkan oleh Tuhan. Tapi masalahnya, apabila kita selalu menganggap diri
benar, menganggap diri sendirilah yang paling suci, tidak pernah salah, tidak
pernah berdosa, lalu menjadikan hal tersebut sebagai alat untuk menghakimi
bahwa orang lain selalu salah, selalu tidak benar. Sombong sekali.
Sungguh.. terrr….laaa…..luuu…. (kata bang haji)
Sungguh.. terrr….laaa…..luuu…. (kata bang haji)
Jika Mentalitas Farisi semacam ini sampai
melanda persekutuan gereja, tentu tidak mungkin ada persekutuan yang baik,
tidak mungkin adanya saling mengasihi. Yang ada tentulah saling membenarkan
diri, saling menyalahkan, saling merasa berharga, dan seterusnya...dan akhirnya
kita akan menjadi orang-orang yang munafik dalam pandangan Tuhan. Yesus berkata
bahwa kemunafikan sebagai “ragi orang Farisi” (Lukas 21:1). Artinya kemunafikan
merupakan bagian dari Mentalitas Orang Farisi
Allah geram dengan orang yang gemar memberikan
cap yang buruk pada orang lain berdasarkan apa yang benar menurut pandangannya
sendiri. Karena sikap dan perilaku seperti ini akan membawa kita pada kesalahan
yang lain lagi yang dikecam oleh Tuhan, yakni MENGHAKIMI (penghakiman yang
salah).
Ingatlah bahwa disaat kita mulai memposisikan
diri sebagai hakim atas orang lain dan mulai menghakimi berdasarkan dugaan
semata yang belum pasti kebenarannya, maka janganlah terburu-buru mewujudkannya
melalui perkataan, tindakan dan perbuatan, karena sesuatu yang berawal dari
dugaan (belum pasti kebenaranya), masih membutuhkan penelitian dan penelaahan
lebih jauh. Supaya kita tidak dicap sebagai orang yang suka menghakimi dan menuduh
dengan sembarangan (tanpa bukti)
Orang yang suka menghakimi adalah mereka yang:
• Berusaha mencari-cari kesalahan orang lain untuk menjatuhkannya.
• Memberikan cap pada seseorang padahal orang itu tidaklah seperti itu.
• Menyalahkan atau menuduh seseorang sebelum tahu persoalan yang sebenarnya
• Menganggap diri selalu benar sedangkan orang lain selalu salah.
• Berusaha mencari-cari kesalahan orang lain untuk menjatuhkannya.
• Memberikan cap pada seseorang padahal orang itu tidaklah seperti itu.
• Menyalahkan atau menuduh seseorang sebelum tahu persoalan yang sebenarnya
• Menganggap diri selalu benar sedangkan orang lain selalu salah.
Saudaraku!
Ketika kita dikuasai oleh kebencian, maka sikap,
kesalahan dan tabiat buruk orang lain akan nampak jelas dalam pandangan kita,
padahal tanpa kita sadari, sebenarnya kita memiliki keburukan yang sama, bahkan
mungkin lebih parah atau lebih buruk dari dari mereka.
Ingaa... ingaa… Kalau kita mulai fokus pada
kesalahan orang lain, berhentilah sejenak dan ujilah diri sendiri.
Jangan-jangan kita sedang menutupi kesalahan kita sendiri. Dengan menguji diri
sendiri, kita termotivasi untuk memaafkan kesalahan orang lain dan tetap
mengasihinya.
Salah satu ucapan terkenal dari Bunda Teresa
ialah, “Ketika Anda menghakimi orang lain, Anda tidak mempunyai waktu untuk
mengasihinya.”
Saya teringat dengan suatu peribahasa, yakni
“Kuman diseberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”.
Hal ini sebenarnya sudah disampaikan oleh
Tuhan Yesus ribuan tahun yang lalu ketika Ia berkata, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata
saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” Matius 7:3
Selumbar dari kata Yunani karfos, serumpun
dengan kata kerja karfo 'menjadi kering'. Arti kata benda itu ialah tampuk,
tangkai atau ranting yg kecil dan kering, serpihan jerami yg kecil, atau bahkan
hanya seperti sehelai rambut (bulu), yg mungkin terbang ke mata.
Secara kiasan kata itu dipakai Yesus untuk
mengartikan kesalahan yg kecil atau sesuatu yang tidak mudah terlihat dan
sangat gampang luput dan lewat dari pengawasa dan pandangan mata kita.
Dapat diartikan suatu kesalahan yang sangat
kecil tetapi tampak seolah sangat kelihatan dan menyolok di depan mata orang
yang menghakimi sesamanya. Dan tanpa disadarinya bahwa, ada balok yang menutup
matanya. Sesuatu yang besar, mudah sekali terlihat tapi justru terlewatkan dari
perhatian dan pandangannya.
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri
adalah Orang Yang selalu Menghakimi Jarang Sekali Berpikir Mengenai Kekurangan
Atau Kesalahannya Sendiri. Seperti cerita ilustrasi berikut ini:
Sepasang suami istri muda menempati rumah di
sebuah komplek perumahan.
Suatu pagi sambil sarapan, si istri menatap
keluar melalui jendela kaca dan melihat tetangganya sedang menjemur baju.
Lalu si Istri berkata kepada suaminya : “lihat
Pa… Cuciannya kelihatan kurang bersih ya, Sepertinya dia tidak tahu cara
mencuci pakaian dengan benar, mungkin mesin cucinya jelek dan murahan, atau mungkin
dia perlu sabun cuci yang lebih bagus.”
Suaminya menoleh, tetapi hanya diam dan tidak
memberi komentar apapun.
Sejak hari itu setiap tetangganya menjemur
baju, selalu saja si istri memberikan komentar yang sama tentang kurang
bersihnya si tetangga mencuci bajunya.
Beberapa hari berlalu…
dipagi yang sama si istri heran melihat pakaian-pakaian yang dijemur tetangganya sudah terlihat bersih cemerlang.
dipagi yang sama si istri heran melihat pakaian-pakaian yang dijemur tetangganya sudah terlihat bersih cemerlang.
Lalu si istri berkata kepada suaminya : “Lihat
Pa… sepertinya dia telah belajar bagaimana cara mencuci dengan benar, pagi ini
baju cuciannya telah bersih, mungkin dia melihat hasil cucianku yang bersih”.
Lalu si suami berkata :
“Ma.. Papa bangun lebih pagi hari ini untuk membersihkan jendela kaca kita”.
“Ma.. Papa bangun lebih pagi hari ini untuk membersihkan jendela kaca kita”.
si isteri terkejut dan sangat malu mendengar
jawaban suaminya,
dia malu telah menghina tetangganya selama ini tidak bersih mencuci baju padahal kaca jendelanya yang kotor.
dia malu telah menghina tetangganya selama ini tidak bersih mencuci baju padahal kaca jendelanya yang kotor.
Inilah sebuah realitas kehidupan yang mungkin
ada disekitar kita. Pelajaran yang bisa kita ambil dari ilustrasi ini adalah apa
yang kita lihat pada saat menilai orang lain tergantung pada kejernihan pikiran
kita. Dan hasilnya tergantung dari “jendela” mana kita memandangnya. jika kita
melihat melalui kaca jendela yang kotor sudah pasti apa yang kita lihat didepan
akan kotor juga.
Saat seseorang terbiasa mencari kesalahan
orang namun jarang melakukan introspeksi diri maka bersiap-siaplah karena akan
ada suatu dampak fatal yang akan diakibatkannya.
Sadar… sadar… sadar...dan sadarilah bahwa saat
pandangan kita terfokus kepada apapun yang lain daripada diri kita atau diluar
diri kita, maka kita akan menjadi orang yang kurang waspada akan keadaan diri
sendiri (tidak mawas diri).
Jika pikiran dan pandangan kita hanya terfokus
untuk mencari-cari kesalahan orang lain, maka pada waktu yang bersamaan akan
menjadi sukar bagi kita untuk memperhatikan apa yang sedang kita lakukan atau
kesalahan yang mungkin justru sedang kita perbuat.
Terlalu lama memandang ke atas membuat kita
tidak bisa melihat lubang besar menganga di bawah kita.
Begitu seriusnya mengamati wajah orang lain,
tanpa kita sadari wajah kita sendiri sedang belepotan. Dan lebih parah lagi
ketika kita meminta orang tersebut untuk bercermin karena wajahnya belepotan, (karena
tidak mau dipersalahkan) mereka selalu berdalih bahwa mereka sudah bercermin
dan tidak peduli dengan apa yang ada diwajahnya. (sudah bercermin tapi tidak
mau membersihkan kotoran di wajahnya)
Melihat wajah anaknya yang kotor/ belepotan,
ibunya berkata, "Bercerminlah, lalu cuci wajahmu." Namun anak itu
membantah, "Saya sudah bercermin!" Ibunya kemudian menjawab,
"Kamu telah menipu dirimu sendiri!"
Wajahnya yang masih kotor menandakan bahwa
jika ia memang sudah bercermin, maka tentulah ia mengabaikan apa yang telah
dilihatnya di cermin.
Ia pasti sudah melihat keadaan dirinya yang sebenarnya, tetapi
kotoran di wajahnya tidak dibersihkannya.
Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada
saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu,
padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik,
keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas
untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu." Lukas 6:42
Daripada kita terus menerus menyibukkan dan
melelahkan diri kita dengan mengorek-ngorek dan mencari-cari kesalahan dan
kelalaian orang lain, yang bisa kita jadikan senjata untuk menyerangnya,
bukankah lebih baik kita berpikir positif, sembari menanyakan dengan jujur pada
diri kita sendiri, sudah mampukah kita berbuat lebih baik dari orang yang kita
kritik atau kita cari-cari kesalahannya?
Ingatlah Firman Tuhan mengatakan bahwa mereka
yang menghakimi akan dihakimi oleh Tuhan. Mereka yang mempersalahkan orang
karena maksud-maksud hatinya yang jahat akan diperhitungkan pula hingga
kesalahannya oleh Tuhan.
Oleh karena itu, berpikir dulu sebelum
berkata-kata. Sebelum semua berakibat fatal. Memang sangat mudah mengatakan hal
yang buruk tentang orang lain, tetapi janganlah engkau berharap bahwa dengan memperkatakan,
menjelek-jelekkan, atau menggosipkan orang lain bisa membuat anda menjadi lebih
terhormat. Jadi, jagalah perkataan anda sebab perkataan bisa menjadi senjata
yang paling mematikan untuk merusak hubungan dan juga merusak diri anda sendiri. Seperti cerita berikut ini:
Di sebuah kota kecil, seorang wanita
menyebarkan gosip kepada tetangga dan setiap orang yang dijumpainya, bahwa
perempuan muda di sebelah rumahnya suka mengganggu suami orang dan bila si
lelaki sudah masuk jebakan, habislah semua uang dikurasnya.
Layaknya kabar burung, berita ini cepat
menyebar ke penjuru kota. Guna menjaga ketertiban, pejabat sosial dibantu
polisi menangkap sang perempuan muda. Setelah melalui pengadilan yang memakan
waktu, akhirnya hakim memutuskan tuduhan tersebut tak terbukti. Perempuan muda
ini dibebaskan.
Merasa nama baiknya tercemar, perempuan muda ini menuntut balik wanita tua karena menyebarkan berita bohong. Saat melakukan pembelaan, si wanita tua berdalih, "Itu kan hanya omongan. Nggak ada yang disakiti secara fisik, kan?"
Merasa nama baiknya tercemar, perempuan muda ini menuntut balik wanita tua karena menyebarkan berita bohong. Saat melakukan pembelaan, si wanita tua berdalih, "Itu kan hanya omongan. Nggak ada yang disakiti secara fisik, kan?"
Pak hakim pun menjawab, "Baiklah.
Sekarang ambil kertas seratus lembar, lalu tulis apa yang dulu kamu katakan.
Nanti setelah selesai, kamu pulang dan sebarkan di alun-alun kota. Besok temui
saya lagi di sini."
Perempuan muda menjadi marah dengan vonis
hakim yang terlalu ringan. Namun hakim menyuruhnya diam. Si wanita tua jadi
tertawa karena merasa menang.
"Kalau begitu saja, dengan senang hati
saya menerima hukuman," ucap wanita tua sambil bergegas meminta kertas dan
menuliskannya. Dalam waktu satu jam, tugasnya selesai. Ia melangkah keluar
ruang pengadilan menuju alun-alun, melemparkan tumpukan kertas ke udara.
Keesokan harinya, ia kembali menghadap hakim
melaporkan tugasnya sudah selesai.
"Oh belum selesai," sahut pak hakim.
"Sekarang kamu keluar dan punguti lagi semua tulisan kamu di kertas yang
tersebar kemarin."
"Apa? Perintah yang nggak masuk akal.
Mana mungkin saya mendapatkan seratus lembar kertas itu, pasti sudah terbawa
angin dan tak tahu lagi di mana semuanya sekarang." Wanita tua itu
meradang.
"Bukankah kemarin kamu bilang hanya
omongan saat dulu kamu menyebar fitnah tentang perempuan muda ini? Begitulah,
apa yang keluar dari mulut juga bisa tersebar ke berbagai tempat tanpa kamu
sadari dampaknya. Mungkin, omongan buruk memang tak melukai secara fisik, tapi
akibatnya bisa berbahaya."
"Karena itu kuasai mulut kamu, dan bukan mulut yang menguasai kamu. Berpikirlah sebelum bicara."
"Karena itu kuasai mulut kamu, dan bukan mulut yang menguasai kamu. Berpikirlah sebelum bicara."
Dari kisah ini kita diingatkan bahwa
menceritakan hal-hal yang buruk tentang orang lain yang belum pasti
kebenarannya, akan merusak hubungan dan bisa memecah belah kesatuan dan
persatuan.
Kita tidak akan pernah menjadi berkat bagi
orang lain jika kita memiliki sikap hati yang jahat ini. Kasih Tuhan tidak akan
pernah tersalurkan saat kita lebih suka memusatkan diri untuk menuntut dan
mendakwa orang lain karena kesalahan-kesalahan mereka.
BERTOBATLAH SEBELUM TERLAMBAT!
Tuhan selalu memberikan kesempatan pada kita setiap saat untuk bertobat dan memulai hidup yang baru. HIDUP DALAM PERTOBATAN. Dengan demikian dapat mengubah perilaku dan cara pandang kita tentang orang lain.
Pandanganlah orang lain
sebagaimana Kristus memandang mereka.
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri. Bahkan kita diajarkan bukan hanya mengasihi musuh kita saja tetapi
juga harus berdoa dan memberkati mereka.
Hiduplah dalam kasih supaya tidak ada kebencian
Saya mengakhiri tulisan saya ini dengan
kalimat bijak berikut ini:
Jika HATI kita bersih, maka bersih pula
PIKIRAN kita.
Jika PIKIRAN kita bersih, maka bersih pula PERKATAAN kita.
Jika PERKATAAN kita bersih, maka bersih pula PERBUATAN kita.
Jika PIKIRAN kita bersih, maka bersih pula PERKATAAN kita.
Jika PERKATAAN kita bersih, maka bersih pula PERBUATAN kita.
Hati, pikiran, perkataan dan perbuatan kita
mencerminkan hidup kita.
Ferdy Manggaribet, MA
Ditulis Oleh : ggp bukit hermon balikpapan ~ Ferdy Manggaribet, S.Th, MA
Anda sedang membaca postingan saya yang berjudul MENUTUPI KESALAHAN DENGAN MENCARI-CARI KESALAHAN ORANG LAIN. Jika anda menyukai semua ARTIKEL kami, anda bisa COPAS dan menyebarluaskannya dengan disertakannya link yang sesuai dengan postingan tersebut sebagai sumbernya
Jangan Lupa Kritik dan Sarannya melalui KOTAK KOMENTAR dibawah ini ya!
Jangan Lupa Kritik dan Sarannya melalui KOTAK KOMENTAR dibawah ini ya!
Kekasih Tuhan !!!
Anda diberkati dengan Artikel dan renungan kami ?
Bagikan ke teman-teman Anda biar jadi berkat. GBU
0 komentar:
Posting Komentar