Krisis kepemimpinan sudah terjadi pada zaman Perjanjian Lama. Firman Tuhan berkata:
“Aku mencari di tengah-tengah mereka seorang yang hendak mendirikan tembok atau mempertahankan negeri itu di hadapan-Ku, supaya jangan Kumusnahkan, tetapi Aku tidak menemuinya.” (Yehezkiel 22:30)
Sebenarnya di masa itu bukannya tidak ada pemimpin. Ada banyak pemimpin namun
orientasi hidup mereka tak memenuhi syarat yang berkenan kepada Allah.
Masalah yang terjadi pada zaman Yehezkiel, terjadi juga pada saat ini, khususnya pada gereja-gereja di Indonesia. Gereja-gereja di Indonesia sebenarnya bukan kekurangan pemimpin. Justru sebaliknya, terlalu banyak pemimpin. Tetapi sangat disayangkan karena sebagian pemimpin yang ada tidak membekali diri mereka dengan pengetahuan kepemimpinan sehingga mengakibatkan ketidakpuasan dan terus ada rasa kekurangan pemimpin yang memenuhi syarat dari pengikut-pengikutnya.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, yang berkenan kepada Tuhan, memang bukanlah sesuatu yang otomatis, atau sesuatu yang kebetulan. Dan juga tidak mudah. Seorang pemimpin atau atasan yang menyenangkan, untuk dituruti perintahnya adalah pribadi-pribadi yang sangat jarang ditemukan.
Tidak sedikit pemimpin yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam suatu organisasi, namun ternyata kedudukan itu di luar batas kemampuannya. Mereka tidak mampu melaksanakan tugas yang seharusnya mereka tangani, tetapi amat pandai mengalihkan suatu kesalahan kepada orang lain. Mereka adalah pemimpin yang menyulitkan bawahannya, karena sikap-sikapnya yang biasanya negatif dan mematahkan semangat, dan bukannya makin membesarkan hati.
Ada juga tipe kememimpinan yang bukannya menuntun dan memimpin jemaatnya tetapi sebaliknya dikemudikannya. Para pemimpin seperti ini biasanya sangat suka bekerja, sifatnya perfeksionis selalu ingin serba sempurna, dan menuntut teralu banyak. Kerja adalah segala-galanya bagi pemimpin seperti ini. Pemimpin seperti ini selalu ingin mendapat lebih banyak, kemauan keras, sukar mengerti orang lain, tidak pernah merasa cukup. Mereka seringkali terlalu pandai, sehingga menuntut terlalu banyak dari orang lain. Dan jika keinginannya tidak terpenuhi, selalu melemparkan kesalahan kepada bawahannya.
Seringkali orang percaya tidak menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memimpin. Karena mereka menganggap bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang sudah terlatih, memiliki pelayanan yang besar atau berada dalam suatu posisi yang membawahi ribuan orang.
Hal ini tidak benar. Seorang yang bisa mempengaruhi orang lain, ia adalah seorang pemimpin. Dengan kata lain, siapapun yang mempengaruhi seseorang lainnya untuk melakukan sesuatu, ia telah memimpin orang tersebut.
Tidak setiap orang akan menjadi pemimpin besar, tetapi setiap orang dapat menjadi pemimpin yang lebih baik.
Pemimpin-pemimpin gereja harus belajar kepada Kristus. Kristus adalah pemimpin yang sejati. Sekarang lebih banyak orang mengikuti Dia dibandingkan semua pemimpin lainnya di dunia ini.
Dari pengalaman yang saya alami dan saya lihat dalam beberapa tokoh kepemimpinan ternyata Kepemimpinan yang sejati tak dapat ditunjuk, atau ditugaskan. Kepemimpinan hanya datang dari pengaruh. Jika Anda tidak mempunyai pengaruh, Anda takkan pernah dapat memimpin orang lain. Anda mungkin saat ini sedang ada dalam pesisi tertinggi dalam suatu organisasi tetapi jika tidak orang yang mengikuti dan mendengarkan Anda, Anda bukanlah seorang pemimpin yang sejati. Oleh karena itu benarlah apa yang dikatakan John Maxwell, bahwa “ukuran sejati dari kepemimpinan adalah pengaruh – tidak lebih, tidak kurang”
Jika kemimpinan kita kaitkan dengan kepemimpinan rohani, maka dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mempengaruhi orang-orang (pengikutnya) sedemikian rupa kepada suatu tujuan, yaitu keselamatan sehingga pengikutnya dengan rela dan sukacita untuk mentaati, mempercayai, menghormati dan dengan setia bekerja sama demi pencapaian tujuan tersebut. Memang semua ini hanya dapat terjadi jika seorang pemimpin memiliki pengaruh dan memiliki kepribadian yang berkenan kepada Tuhan.
Saya sangat bersukacita karena dalam beberapa cerita dalam Alkitab kita bisa temukan, bahwa Tuhan sering memilih orang yang dianggap hina, tetapi memenuhi persayaratan rohani. Tuhan tidak memakai orang yang merasa paling hebat, karena mereka tidak memenuhi persayaratan rohani. Ini juga berarti bahwa Allah tidak selalu memakai orang yang paling berbakat, tetapi yang memiliki sikap hati yang terbaik, hati yang benar dihadapanNya. Allah tidak melihat rupa tetapi melihat hati. Tuhan tidak melihat kepada pendidikan dan pengetahuan seseorang. Tuhan melihat orang yang berkenan kepadaNya. Itulah syarat kepimimpinan rohani yang pertama, yakni berkenan kepada Tuhan.
Dengan demikian Seorang pemimpin rohani tidak boleh bergantung kepada kekuatan dan bakat yang dimilikinya. Ini tidak berarti kita tidak perlu belajar atau sekolah untuk membekali pengetahuan kita, itu juga penting, tetapi jika kita tidak mengandalkan Tuhan kita tidak akan menjadi pemimpin yang sesuai dengan kehendak Tuhan
Saya pernah melihat Seorang pemimpin yang hanya mau mengerjakan pekerjaan yang dianggapnya pantas untuk dia kerjakan. Pemimpin ini tidak mengetahui bahwa sebagai seorang pemimpin ia harus bersedia mengerjakan pekerjaan yang mungkin dianggap tidak berarti atau hina oleh semua orang. Seorang pemimpin yang baik dan benar akan selalu percaya bahwa semua pekerjaannya telah dipersiapkan oleh Tuhan untuk menjadikannya pemimpin yang besar.
Seorang pemimpin juga tidak boleh dikuasai oleh emosinya, ia harus menguasai emosinya. Ia harus bisa menahan diri, dan mejadikan dirinya tetap tenang. Pemimpin yang tidak bisa mengendalikan emosi dan tidak bisa menahan diri akan menjadikannya pemimpin yang tidak akan disukai, tidak akan diikuti dan akhirnya menjadikannya pemimpin yang gagal. Karena ia akan muda untuk melakukan kekeliruan dalam penilaian. Mengapa pemimpin mengalami kegagalan (termasuk beberapa dalam cerita Alkitab)? Karena dalam setiap kejadian mereka membiarkan emosi mereka menguasai keputusan mereka lalu mereka akhirnya memutuskan untuk bertindak keliru.
Sebagai seorang pemimpin, ia dituntut untuk mengambil keputusan yang mungkin takut untuk dibuat orang lain. Memang ini mengandung resiko penolakan dari orang lain. Tetapi perlu diingat bahwa dalam membuat keputusan, seorang pemimpin harus memastikan terlebih dahulu bahwa keputusannya tersebut harus tegas dan jelas. Selain tegas dan jelas, harus dibuat perhitungan yang matang, evaluasi yang obyektif dan analisa yang tepat karena tidak tertutup kemungkinan orang lain tidak dapat menerima keputusan tersebut.
Ditulis Oleh : ggp bukit hermon balikpapan ~ Ferdy Manggaribet, S.Th, MA
Anda sedang membaca postingan saya yang berjudul KEPEMIMPINAN. Jika anda menyukai semua ARTIKEL kami, anda bisa COPAS dan menyebarluaskannya dengan disertakannya link yang sesuai dengan postingan tersebut sebagai sumbernya
Jangan Lupa Kritik dan Sarannya melalui KOTAK KOMENTAR dibawah ini ya!
Jangan Lupa Kritik dan Sarannya melalui KOTAK KOMENTAR dibawah ini ya!
Kekasih Tuhan !!!
Anda diberkati dengan Artikel dan renungan kami ?
Bagikan ke teman-teman Anda biar jadi berkat. GBU
0 komentar:
Posting Komentar